Pages

Senin, 02 April 2012

Menulis, Sebuah Proses

                                     Menulis, Sebuah Proses

Bagi banyak orang, menulis adalah aktivitas yang mengasyikkan. Terutama karena dengan menulis orang bisa berbagi gagasan, argumen, angan-angan, mimpi, bahkan perasaan. Mungkin kah kita salah satu yang menggemari aktivitas menulis karena alasan tersebut?

Berbagai media tersedia sebagai tempat berekspresi dalam bentuk tulisan. Personal web/blog tanpa biaya, social media, surat kabar, majalah, maupun dalam bentuk buku. Kita bisa memilih mana yang nyaman untuk kita menuangkan ide-ide maupun meluapkan perasaan. Pemilihan media untuk menulis seringkali berdasarkan pada niat awal menulis. Sejauh mana kita ingin menulis, siapa saja yang kita inginkan membaca tulisan kita, termasuk apakah kita ingin orang mengakui kita sebagai penulis yang sebenarnya.

Menulis untuk diri sendiri, tentu saja berbeda dengan menulis untuk ‘dikonsumsi’ orang lain. Ada kaidah-kaidah tertentu yang harus dipatuhi dalam membuat tulisan yang nantinya dipublish untuk umum. Terlebih bila dimaksudkan untuk tujuan komersil. Ada aturan penggunaan EYD, bobot dan genre tulisan, serta nilai jual yang harus diperhatikan.

Menulis juga butuh proses belajar. Bagi kita yang mengawali karir menulis dari nol, banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membuka jalan. Yang paling penting adalah menulis dan terus menulis, kemudian cukup percaya diri untuk membiarkan orang lain membaca dan menilai tulisan kita. Semakin banyak orang membaca, akan semakin banyak pula referensi tentang penerimaan mereka. 

Maraknya audisi buku antologi dan lomba menulis adalah kesempatan yang baik untuk mengukur kemampuan menulis kita. Bila kita terbiasa menulis suka-suka, maka mengikuti audisi/lomba akan memaksa kita belajar. Tema dasar, jumlah kata atau halaman, segmentasi, dan lain-lain aturan yang ditetapkan, akan membantu proses kreatif kita untuk menulis dengan batas. Di sinilah kita ditantang untuk menyesuaikan tulisan kita dengan selingkung yang ada. Ini akan sangat berguna, karena bila kita ingin menerbitkan buku, kita harus menyesuaikan naskah kita dengan selingkung penerbit yang kita tuju.
Menulis buku antologi memang mengasyikkan. Bukan hanya euforia sesaat ketika pengumuman, tapi beban naskah juga lebih ringan. Bahkan kita tak perlu bersusah-payah mengurusi proses terbit karena semuanya telah ditanggung penanggung jawab audisi/lomba tersebut. 

Meski begitu, proses belajar hendaknya tetap dilakukan. Kita harus bisa memilah dan memilih audisi/lomba yang mampu membuat kemampuan menulis kita lebih baik. Pilihlah yang berbobot. Hal paling mudah untuk menilai apakah sebuah audisi/lomba cukup berbobot adalah dengan melihat penyelenggaranya. Carilah informasi detail, terutama follow up penerbitannya. Mayorkah? Indie-kah?

Aneka audisi/lomba dengan tema dan genre berbeda akan semakin memperkaya tulisan kita. Tapi jangan terjebak. Ada baiknya proses belajar menulis kita tingkatkan levelnya. Misalnya antologi untuk 40 orang, kemudian naik menjadi 20 orang, 10, 5 lalu buku solo. Meski seringkali tidak signifikan dalam hal porsi naskah yang harus kita sumbangkan, toh target semacam ini akan melatih mengurangi beban kita sedikit demi sedikit. Kepuasan batin yang semakin naik, bisa menjelma menjadi semangat yang luar biasa untuk menulis buku solo.

Sembari menjajal kemampuan menulis dengan mengikuti aneka audisi/lomba, cobalah untuk mengenal dunia penulisan yang sebenarnya. Kenalilah dari sisi pembaca. Kenali pula karakter dan selingkung penerbit. Termasuk mencoba menganalisa pasar berdasarkan buku yang sedang trend dan lain sebagainya. Pengetahuan ini akan memudahkan kita bila ingin menerbitkan buku. Paling tidak, kita tahu medan pertempuran yang ingin kita menangkan.


Etyastari Soeharto


Tidak ada komentar:

Posting Komentar