Pages

Kamis, 05 April 2012

Kemampuan dalam Pengambilan Keputusan pada Remaja

Pengambilan keputusan merupakan bagian dari hidup manusia dalam menghadapi berbagai masalah untuk pemenuhan berbagai kebutuhan hidupnya, sehingga setiap individu membutuhkan pengambilan keputusan yang tepat. Pengambilan keputusan merupakan suatu proses dan berlangsung dalam suatu sistem, meskipun merupakan suatu keputusan yang sifatnya paling pribadi sekalipun. Pengambilan keputusan menjadi suatu hal yang biasa diambil atau dilakukan karena individu menghadapi berbagai permasalahan untuk dapat mempertahankan hidupnya.Pengambilan keputusan merupakan kunci kehidupan dan kegiatan yang paling penting dari semua kegiatan dalam menghadapi berbagai permasalahan untuk dapat mempertahankan hidup.

Perlu disadari pula bahwa agar dapat berhasil dalam upaya mengembangkan kemampuan untuk mengambil keputusan dibutuhkan kematangan pribadi. Semakin matang individu mengenali masalah yang selalu dihadapi dan semakin tepat individu tersebut memecahkan permasalahan tersebut, maka semakin besar kesuksesan yang diraih. Secara popular mengambil keputusan adalah memilih satu di antara sekian banyak alternatif. Suatu keputusan yang diambil dianggap “tepat” yaitu jika keputusan tersebut didasarkan pada sejumlah pertimbangan yang memperhatikan segala faktor, baik obyektif maupun subyektif.

Seiring pengambilan keputusan yang diambil, yang semula mungkin dianggap sepele tetapi memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan seseorang. Dibutuhkan banyak faktor sebagai pertimbangan agar keputusan yang diambil benar-benar tepat. Para remaja dalam memillih hanya berdasar ikut-ikutan teman, disuruh orang tua, didorong oleh orang lain, ataupun memilih sendiri tetapi buta dengan informasi yang dipilihnya. Kematangan pengambilan keputusan adalah suatu proses pilihan alternatif tindakan seseorang dalam cara yang efisien dalam situasi tertentu. Pengambilan keputusan yang bersifat rutin sehari-hari pun individu kadang-kadang hanya melakukan pilihan alternatif melalui judgment sederhana, padahal keputusan tersebut diperlukan suatu prosedur problem solving dengan tahapannya yang sistematis.

Setiap saat seorang remaja, pengambilan keputusan atau “Decision Making” akan berpengaruh terhadap hidupnya kelak maupun hidup orang lain. “Decision Making” dilakukan mulai hal yang sederhana, seperti memilih warna baju, memilih model pakaian, atau memilih menu makanan. Pengambilan keputusan juga dilakukan dalam hal-hal yang kompleks seperti memilih teman pergaulan, memilih calon suami/ istri sampai dalam hal pemilihan karier. Banyak sekali masalah yang dihadapi remaja dalam memutuskan sesuatu. Misalnya seorang siswa yang berminat untuk masuk jurusan IPS akan tetapi orang tua menilai jurusan IPA lebih bagus, di sinilah masalah yang sering dihadapi remaja, bagaimana keputusan yang paling baik untuk diambil.

Kemampuan remaja dalam mengambil keputusan memiliki konsekuensi yang sama dengan orang dewasa karena mempunyai dampak yang penting sesuai dengan resikonya. Budaya paternalisme kaum dewasa cenderung bersikap membatasi hak remaja dan menerapkan stigma pada remaja. Remaja tidak boleh diberi hak untuk mengatur tindakan mereka sendiri. Remaja lebih dipandang sebagai masalah dari pada sebagai sumber daya. Kaum dewasa ditempatkan pada kedudukan yang lebih tinggi yaitu selalu tahu dan benar. Itulah salah satu yang menyebabkan kurangnya rasa percaya diri pada remaja dalam mengambil keputusan.

Remaja mampu mengontrol perilaku dan emosinya akan cepat lepas dari krisis jati diri dalam mencari dan mengembangkan identitas dirinya. Remaja tersebut akan lebih mampu mengevaluasi dan menyesuaikan perilaku dirinya dengan orang lain. Usaha pengembangan identitas diri ini tidak akan lepas dari perasaan harga diri. Harga diri merupakan bagian dari kepribadian yang akan mempengaruhi tingkah laku individu dalam kesehariannya. Harga diri bukan merupakan faktor bawaan namun merupakan faktor yang dapat dipelajari dan terbentuk sesuai pengalaman individu itu sendiri.

Harga diri adalah hasil evaluasi yang dibuat, dipertahankan, diperoleh dari interaksi dengan lingkungan, penerimaan, penghargaan, dan perlakuan orang lain terhadap individu tersebut. Harga diri dapat mengarahkan perilaku diri, jika harga dirinya tinggi maka perilakunya akan positif dan jika harga dirinya rendah maka perilaku yang tampak juga akan negatif. Seseorang kurang dapat mengaktualisasikan dan cenderung kurang percaya diri apabila memiliki harga diri yang rendah. Dengan demikian kematangan dalam menentukan suatu keputusan karier oleh remaja dibutuhkan harga diri yang mantap.

Secara potensial seorang siswa SMA memiliki kecerdasan tinggi, dan setelah diukurpun terungkap kemampuan mentalnya itu, tetapi mungkin saja ia merasa dirinya tidak akan mampu mengikuti pelajaran, dan tidak yakin apakah ia akan bisa menamatkan sekolah. Demikian juga dengan siswa berbakat musik, tetapi mungkin merasa dirinya tidak mampu berolah musik, karena tiadanya kesempatan untuk itu sehingga ia tidak tahu kalau dirinya berbakat. Kemungkinan lain adalah aktualisasi diri siswa itu di bidang musik tidak memperoleh perhatian atau penghargaan.

Remaja pada masanya berusaha untuk melepaskan diri dari orang tua dengan maksud untuk menemukan dirinya. Eriksson menamakan proses tersebut sebagai proses mencari identitas ego. Suatu masa pembentukan identitas, yaitu perkembangan ke arah individualitas yang mantap, aspek yang sangat penting dalam perkembangan diri sendiri. Debesse berpendapat bahwa remaja sebenarnya menonjolkan apa yang membedakan dirinya dari orang dewasa, yaitu originalitasnya dan bukan identitasnya. Istilah krisis originalitas mungkin lebih tepat dari pada krisis identitas. Usaha remaja untuk mencapai originalitasnya sekaligus menunjukkan pertentangan terhadap orang dewasa dan solidaritas terhadap teman sebaya. Prinsip emansipasi memungkinkan bahwa kedua arah gerak saling bertemu dalam usaha originalitas ini, sehingga timbul suatu jarak antar generasi dan suatu kultur pemuda.

Selain masa transisi banyak lagi sebutan untuk masa remaja sebagai masa yang akan di lewati dalam perjalanan hidup manusia. Ada yang menyebutnya masa pubertas atau masa penuh gejolak emosi. Sebutan-sebutan ini diberikan karena pada masa ini adalah masa remaja dalam pencarian jati diri sekaligus sebagai masa yang rawan dari pengaruh luar. Jika pandangan dan nilai orang tua berbeda dengan nilai teman sebaya maupun tokoh lain akan besar kemungkinan adanya konflik, sehingga remaja mengalami masalah. Masalah-masalah yang dihadapi remaja akan bertambah komplek apabila remaja tidak bisa memutuskan masalah mana yang menjadi prioritas pemecahannya.

Pemuda menunjukkan originalitas dan memanifestasikan dirinya sebagai kelompok muda dengan gayanya sendiri. Pengertian originalitas di sini tidak boleh diartikan secara individual. Mereka tidak individualistik maupun tidak kreatif, originalitas merupakan sifat khas pengelompokkan anak muda sebagai suatu keseluruhan. Pola interaksi yang dilakukan remaja dalam rangka mencari identitas dirinya secara tidak langsung mempengaruhi setiap keputusan yang diambil. Karena remaja lebih mempercayai teman dari pada diri sendiri maupun keluarga.

Teman sebaya merupakan suatu kelompok yang diharapkan oleh remaja sebagai sesuatu yang dapat membuat mereka nyaman. Bersama teman sebaya, remaja dapat bercerita atau “curhat” tanpa rasa canggung karena rata-rata mereka seusia. Situasi kelompok teman sebaya terdapat suatu bentuk pola interaksi yang memiliki derajat intensitas yang berbeda-beda pada setiap remaja dengan dua kutub yang berlawanan yaitu “sindrom penerimaan” dan “sindrom alienasi”. “Sindrom penerimaan” merupakan situasi menerima atau diterima dengan intensitas dan pengaruh yang kuat ke dalam kelompok, sedangkan “sindrom alienasi” memiliki pengertian yang sebaliknya.


(sumber: http://www.kesimpulan.com/2009/09/kemampuan-dalam-pengambilan-keputusan.html )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar